Review: Macbook Pro Retina Display 2017 dengan Touch Bar

Review: Macbook Pro Retina Display 2017 dengan Touch Bar

Semasa kecil, interaksi saya dengan teknologi khususnya komputer bisa dibilang sedikit sekali. Kalaupun ada, bisa dipastikan itu adalah ketika saya berada di sekolah, mengikuti pelajaran lab komputer ataupun kegiatan ekstrakurikuler. Bagi keluarga kami, PC atau Laptop merupakan barang mewah. Jadi sebenarnya saya tidak pernah membayangkan akan mengikuti perkembangan teknologi apalagi sampai dengan menuliskannya seperti sekarang.

Sebelum berkutat dengan produk Apple, saya tersesat1 menggunakan Windows dan Android. Laptop pertama yang saya miliki bukanlah sebuah Mac. Melainkan laptop HP dengan Windows 7. Spesifikasinya pun tidak mengecewakan waktu itu. Kalau tidak salah ingat, saya membelinya di akhir tahun 2012. 4 bulan kemudian, saya memutuskan untuk menukarnya dengan MacBook White keluaran tahun 2006 dengan OS X Snow Leopard 10.6.8. Meski MacBook yang saya beli terbilang cukup tua di tahun 2012 namun saya langsung terkesan dibuatnya. Mulai dari build quality MacBook, kemudahan charging via MagSafe hingga tampilan antar muka OS X.

Beralih dari MacBook White, saya membeli sebuah MacBook Air akhir 2010. MacBook Air tersebut setia menemani saya melewati beberapa versi OS X hingga berganti nama menjadi macOS. Selama menggunakan produk Apple, tidak sedikit orang yang bertanya kepada saya kenapa setia menggunakan produk dari perusahaan Steve Jobs tersebut. Padahal produk Apple kan mahal, produk Apple kan ngga kompatibel dengan ini itu, produk Apple kan eksklusif, dll. Untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup membuat saya mengerenyitkan dahi.

Oke, mari kita sama-sama mencari jawaban atas beberapa pertanyaan di atas. Kalau kita lihat secara utuh, perusahaan seperti apakah Apple? Perusahaan pembuat hardware kah? Atau perusahaan penyedia software? Jawabannya bukan keduanya. Apple memproduksi hardware (iPhone, iPad, Mac, Apple Watch, dll). Apple juga menyertakan software sekaligus pada produknya (iOS, watchOS, macOS). Jadi, Apple bukan sekedar produsen smartphone atau laptop. Apple juga bukan perusahaan pembuat software. Mengutip dari Daring Fireball:

The truth, of course, is that Apple is neither. Apple is an experience company. That they create both hardware and software is part of creating the entire product experience.

Apple menciptakan ekosistem.

Transfer file antar iPhone, iPad, Mac? AirDrop membuatnya luar biasa mudah. Auto unlock Mac pakai Apple Watch? Works like magic! Menjawab panggilan telepon dari Apple Watch dengan AirPods? Seems like peeking in the future.

Ada sebuah kutipan dari Alan Kay yang digunakan oleh Steve Jobs sewaktu mengenalkan iPhone generasi pertama:

People who are really serious about software should make their own hardware.

Kutipan di atas rasanya cukup menjelaskan mengapa Apple bersikeras mengontrol setiap aspek teknologi yang digunakan untuk membuat sebuah produk. Mulai dari rancangan hardware hingga optimasi software. Usaha ini sudah terbayar dengan performa iPhone dan iPad yang semakin meningkat setiap tahun dengan chip prosesor baru. Bahkan performa chip A11 Bionic dalam iPhone 8, 8 Plus dan iPhone X sanggup bertanding dengan MacBook Pro.

Tak ubahnya produk teknologi lain, iPhone, iPad dan Mac akan semakin menurun performanya seiring dengan berjalannya waktu. Begitu pula dengan MacBook Air 2010 saya. Meski masih mendapat jatah upgrade ke macOS High Sierra namun Apple memangkas beberapa fitur. Performanya pun tak bisa terbilang optimal lagi. Setelah pertimbangan yang cukup lama, akhirnya saya memutuskan untuk membeli MacBook Pro Retina Display dengan Touch Bar.

Sejak 2016, Apple memiliki MacBook Pro dengan desain baru. Tidak ada lagi logo Apple menyala di bagian belakang layar. Port USB dan HDMI sudah berganti USB-C serta ada versi MacBook Pro dengan layar di deretan tombol function yang dinamakan Touch Bar.

Setelah dua bulan lebih menggunakan laptop terbaru dari Apple ini, banyak hal serta catatan yang saya dapat. Inilah review MacBook Pro Retina Display dengan Touch Bar dari saya.

Spesifikasi MacBook Pro Retina Display dengan Touch Bar 2017

Agar lebih afdol sebagai sebuah review, berikut spesifikasi MacBook Pro Retina Display yang saya gunakan:

  • Prosesor: 7th Generation “Kaby Lake” Core i5
  • RAM: 8 GB
  • Storage: SSD, 256GB
  • 4 Thunderbolt 3 port (USB-C)
  • Force Touch Trackpad
  • 2560 x 1600 (227 ppi) Retina display

Dalam paket penjualannya terdapat satu buah charger dan satu kabel USB-C

Review: Macbook Pro Retina Display 2017 dengan Touch Bar

Desain dan Kualitas Build

Rasanya sudah tak perlu diragukan lagi tentang build quality produk keluaran Apple. Mulai dari kemasan sampai dengan produknya memiliki kesan premium. Apple menggunakan material alumunium untuk body MacBook Pro. Ada dua pilihan warna MacBook Pro yang Apple sediakan yaitu Silver dan Space Gray. Saya memilih warna Space Gray. Pada sisi sebelah kiri terdapat dua port Thunderbolt 3 (USB-C). Sisi sebelah kanan juga terdapat dua port Thunderbolt 3 (USB-C) dan satu colokan audio 3.5 mm. Pada sisi kiri dan kanan keyboard terdapat deretan speaker. Bagian atas layar terdapat kamera Facetime HD.

Satu hal yang paling mencolok dari MacBook Pro dengan model baru ini adalah ketipisannya. Bobotnya juga lebih ringan. Hal ini tidak lepas dari keputusan digantinya beberapa komponen serta colokan konektivitas.

Display

MacBook Pro 2017 memiliki layar retina display dengan resolusi 2560 x 1600 dan kerapatan piksel 227 per inci. Grafis dan tulisan yang ditampilkan terlihat tajam dan sangat jelas. Warna yang dihasilkan pun juga cerah. Hal ini berkat fitur P3 Wide Color. P3 Wide Color Gamut adalah sebuah teknologi yang bermanfaat untuk menampilkan rentang warna lebih lebar. Untuk membandingkannya dengan tipe sRGB biasa, kamu bisa mengujinya dengan mengunjungi laman WebKit berikut ini. Bisa terlihat bahwa gambar dengan Display P3 memiliki tingkat ketajaman dan kecerahan yang lebih baik dibandingkan dengan sRGB.

Penjelasan lebih teknis terkait Display P3 ini bisa kamu baca di sini.

Secara keseluruhan menggunakan layar retina display di MacBook sangatlah menyenangkan. Ketika kembali menatap layar MacBook Air, sangat terasa perbedaannya. Layar MacBook Air terlihat blurry dan seperti kurang fokus jika dibandingkan dengan layar retina display MacBook Pro 2017.

Port konektivitas baru

Apple menggunakan konektivitas USB-C untuk laptop Mac keluaran terbaru. Mulai dari MacBook 12 inci dan MacBook Pro keluaran mulai dari tahun 2016. Termasuk MacBook Pro 2017 yang saya gunakan. Dua di sisi sebelah kiri dan dua lagi di sebelah kanan. Keempat port USB-C di MacBook Pro 2017 sudah mendukung konektivitas Thunderbolt 3 yang memungkinkan kecepatan transfer data hingga 40 Gbps.

Tujuan Apple menggunakan USB-C sebenarnya baik. Apple bermaksud mendorong penggunanya ke masa depan di mana ada satu port konektivitas universal yang dapat menghubungkan beragam perangkat, dan USB-C lah kandidatnya. Sayangnya kecepatan adopsi USB-C nampaknya tidak sesuai dengan harapan Apple. Masih terlampau banyak perangkat yang masih menggunakan port koneksi USB-A. Untuk menghubungkan beragam perangkat penyimpanan portable seperti flash disk atau harddisk eksternal saya perlu dongle tambahan. Ironisnya lagi saya tidak bisa menghubungkan iPhone atau iPad dengan MacBook Pro secara langsung2.

Apple menyediakan solusi untuk hal tersebut. Yaitu dengan menjual kabel dan dongle tambahan. Ada USB-C to Lightning, USB C to USB-A, USB-C ke VGA dan HDMI, hingga USB-C to Ethernet untuk konektivitas dengan kabel jaringan. Kalau soal harga, jangan ditanya lagi. Mahal untuk ukuran sebuah dongle atau adapter atau konverter atau apapun istilahnya itu. Untuk yang jenis USB-C to VGA Multiadapter harganya Rp 1.5 juta Rupiah.

Untungnya ada alternatif lain yang lebih ekonomis. Dengan membeli dongle atau adapter secara online. Harganya bervariasi, ada yang di bawah Rp 100 ribu rupiah hingga jutaan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dongle atau adapter yang dijual online dengan harga 1/10 dari harga dongle asli memenuhi standar spesifikasi dari Apple? Saya tidak yakin. Tapi kalau untuk sekedar bertukar antar file ya bolehlah.

Trackpad jumbo dan Keyboard dengan mekanisme Butterfly

Perubahan lain yang cukup kentara pada seri MacBook Pro 2017 adalah trackpad yang jauh lebih besar. 2 kali lebih besar dibandingkan dengan versi sebelumnya dan didukung dengan teknologi Force Touch. Teknologi Force Touch ini bisa mendeteksi kekuatan tekanan yang dilakukan atau istilah dari Apple adalah Force click.

Dari laman support Apple ini dijelaskan bagaimana manfaat dari Force Touch Trackpad, misalnya:

  • Dock: Force click akan membuka tampilan App Exposé
  • Reminder: Force click akan membuka rincian pengingat yang tersimpan
  • Informasi alamat: Force click untuk melihat alamat di aplikasi Maps
  • dsb

Selama menggunakan trackpad yang lebih besar ini saya belum mengalami kendala atau masalah yang mengganggu. Malah bisa dibilang cukup menyenangkan dan nyaman digunakan. Force click juga menjadi fitur yang sangat bermanfaat dan mempercepat beragam aktivitas.

Beralih dari trackpad, mari kita bahas keyboard di Macbook Pro 2017.

Cukup banyak kontroversi mengenai mekanisme keyboard baru di laptop bikinan Apple. Butterfly mechanism pertama kali diperkenalkan untuk MacBook 12 inci yang kemudian digunakan juga oleh Apple di lini MacBook Pro. Klaim dari Apple, dengan teknologi ini jangkauan pengetikan semakin lebih pendek. Begitu pula dengan kedalaman tekanan.

Secara pribadi, saya masih lebih menyukai keyboard laptop Mac versi lama. Terutama bagian kedalaman tekanan. Kurang greget kalau boleh saya bilang. Perlu sedikit waktu menyesuaikan kebiasaan mengetik dari MacBook Air ke MacBook Pro ini. Selain itu, dengan kebiasaan mengetik saya, keyboard di MacBook Pro 2017 ini juga mengeluarkan suara lebih berisik dibandingkan dengan keyboard model lama. Tak jarang pula saya salah menekan tombol antara Command, Options dan Control karena jaraknya yang lebih rapat dibandingkan dengan keyboard MacBook Air.

Dari pengamatan saya di Twitter, membaca blog beberapa pengguna setia Mac serta setelah mencoba sendiri keyboard MacBook Pro 2017 saya berkesimpulan mayoritas pengguna dan termasuk saya tidak menyukai penggunaan keyboard dengan Butterfly mechanism ini. Entah karena mudah rusak, kedalaman tekanan atau jarak antar tombol yang semakin pendek.

Touch Bar, perlukah?

Review: Macbook Pro Retina Display 2017 dengan Touch Bar

Lanjut ke bagian atas keyboard.

Apple menjual dua tipe MacBook Pro, dengan dan tanpa Touch Bar. Touch Bar adalah layar yang disematkan oleh Apple sebagai pengganti deretan tombol Fungsi (F1 – F12). Touch Bar digadang-gadang sebagai salah satu tambahan fitur yang cukup penting. Bukan hanya sebagai pengganti tombol Fungsi, melainkan juga sebagai pengganti tombol shortcut di aplikasi lain. Hal ini karena tampilan tombol di Touch Bar bisa menyesuaikan tergantung dari jendela aplikasi apa yang sedang aktif dan digunakan.

Misalnya ketika sedang membuka aplikas Mail, Touch Bar menampilkan tombol Compose New Message, Flag email, Delete email serta tombol shortcut lainnya. Beralih ke aplikasi Photos, Touch Bar akan menampilkan thumbnails photo tersimpan, pindah ke Safari akan menampilkan preview tab yang terbuka.

Mungkin bagi sebagain besar pengguna umum yang tidak hapal akan keyboard shortcut, kehadiran Touch Bar akan sangat membantu mempercepat aktivitas yang sedang dikerjakan. Bagi saya, keyboard shortcut masih lebih cepat. Touch Bar baru bermanfaat ketika saya lupa akan keyboard shortcut yang diperlukan which is sangat jarang.

Selain tampilannya yang adaptif tergantung dari aplikasi apa yang sedang digunakan, Touch Bar juga bisa dipadukan dengan aplikasi utilitas seperti Better Touch Tools. Dengan Better Touch Tools, saya bisa mengatur beberapa tombol di Touch Bar untuk melakukan beragam perintah. Misalnya, tombol untuk menyembunyikan ikon di Desktop saat akan presentasi. Tombol untuk membuka Finder pada direktori tertentu, toogle Do Not Disturb, hingga menampilkan widget.

Kegunaan Touch Bar yang mungkin paling saya sering gunakan adalah untuk memilih emoji. Ya, memilih emoji via Touch Bar jauh lebih mudah dan cepat dibandingkan harus menekan tombol shortcut Command + Control + Space. Selain itu tak banyak yang saya lakukan dengan Touch Bar. Lebih banyak menggunakan keyboard shortcut.

Touch ID

Di bagian ujung sebelah kanan Touch Bar ada tombol kotak hitam Touch ID. Seperti di iPhone atau iPad, Touch ID di Mac berguna sebagai sistem keamanan dengan menggunakan sidik jari. Proses scanningnya lumayan cepat. Touch ID juga dapat digunakan sebagai pengganti password. Mulai dari menginstall aplikasi sampai autentikasi Apple Pay. Untuk login di Mac menggunakan Touch ID pun cukup mudah dan cepat. Selain login menggunakan Touch ID, saya juga sangat menyukai proses login di Mac menggunakan fitur Auto Unlock. Cukup dengan berada di dekat Mac menggunakan Apple Watch, saya bisa membukanya secara otomatis.

Touch ID dan Touch bar ditenagai oleh prosesor tambahan di Mac berbasis ARM yang dinamakan oleh Apple prosesor T1. Dari beberapa referensi yang saya baca, Touch Bar sendiri menggunakan software yang merupakan varian dari watchOS namun lebih ramping dan ringan. Sama seperti Touch ID di iPhone dan iPad, semua data Touch ID disimpan di bagian Secure Enclave Processor T1 dan tidak pernah dikirimkan ke server Apple ataupun pihak ketiga lainnya.

Performa

Sebagai mantan pengguna MacBook Air yang sudah berumur, terasa sekali perbedaan performa keduanya. Tentu saja sebagai lini laptop terbaru dari Apple, performa dari MacBook Pro 2017 dengan Touch Bar ini tidak perlu diragukan lagi. Saya bisa membuka Android Studio, XCode dan beberapa aplikasi Ms Office (PowerPoint, Excel, dll) dengan lancar tanpa ada lag sedikitpun. Memang di bagian bawahnya sedikit terasa hangat ketika menjalankan banyak tugas secara sekaligus. Laptop Mac satu ini juga tidak berisik. Membuka banyak aplikasi, berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi yang lain dapat dilakukan dengan sangat lancar. Bahkan ketika baterai benar-benar habis, proses menyala sejak tersambung dengan charger memakan waktu kurang dari 10 detik. Tak ada keluhan berarti mengenai masalah performa ini.

Penutup

Ribet dengan dongle dan harus membiasakan diri menggunakan keyboard butterfly adalah beberapa pengalaman kurang menyenangkan selama menggunakan MacBook Pro ini. Belum lagi kalau pas butuh data dari flash disk tetapi kelupaan membawa dongle. Untuk itu mulai sekarang saya rajin-rajin upload file yang sekiranya cukup penting ke Dropbox.

Touch Bar menjadi tambahan yang menarik meski saya jarang menggunakannya. Bagi beberapa pengguna mungkin Touch Bar bermanfaat sebagai pengganti keyboard shortcut. Tidak perlu capek-capek menghapal.

Para pengguna profesional dengan kebutuhan mengolah grafis atau video akan sangat terbantu dengan performanya yang mumpuni. Lebih lagi cukup ringan untuk dibawa-bawa.

MacBook Pro Retina Display 2017 masih menjadi laptop terbaik Apple yang bisa kamu beli sekarang ini. Meski harganya tak bisa dibilang murah.


  1. Bukan dalam lautan luka dalam tentunya 
  2. Saya yakin bukan saya yang jadi pertama mengeluh soal ini. 

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *